Selamat Datang,....

Mari bergabung di Musikalisasi Puisi Palembang

TENTANG MUSIKALISASI PUISI

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
”Tanah” terbentuk ”begitu” saja. Bermula dari tawaran dari Eko Sulistianto kepada Witra Robbi Yanto (yang notabene pernah menjadi murid Eko Sulistianto ketika bersekolah di SMP; waktu itu Eko Sulistianto mengajarkan mata pelajaran Kesenian) untuk berkumpul menyalurkan minat terhadap musikalisasi puisi. Tawaran itu ditanggapi oleh Witra Robbi Yanto dengan menyampaikan tawaran itu kepada Juairiah Siregar (yang notabene adalah istri Witra Robbi Yanto; notabene pula merupakan murid Eko Sulistianto ketika bersekolah di SMA; waktu itu Eko Sulistianto mengajarkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, serta menjadi pembina kelompok musikalisasi puisi di SMA itu). Witra Robbi Yanto juga menyampaikan tawaran itu kepada Bambang Sugianto dan Densi (yang notebene keduanya adalah kolega Witra Robbi Yanto sesama guru di SMA tempat Eko Sulistianto pernah bertugas mengajar, dan sama-sama membina kelompok musikalisasi puisi di SMA itu).

10/12/09

IHWAL MUSIKALISASI PUISI

Æ Musikalisasi puisi merupakan media kreativitas seni

  • Puisi merupakan media kreativitas seni yang sah dalam masyarakat (buktinya karya cipta seni berupa puisi dan karya cipta seni berupa pembacaan puisi yang merupakan ekspresi kreativitas seni diterima di mana-mana); musik merupakan media kreativitas seni yang sah dalam masyarakat (buktinya karya cipta seni berupa aransemen musik --baik yang dituliskan, maupun yang dibacakan-- dan karya cipta seni berupa syair lagu --baik yang dituliskan, maupun yang dibacakan-- yang merupakan ekspresi kreativitas seni diterima di mana-mana). Maka, bagi ”Tanah”, musikalisasi puisi merupakan media ekspresi kreativitas seni yang sah juga dalam masyarakat; yang penting: komposisi musikalisasi puisi itu didahului dengan penafsiran yang tepat terhadap isi puisi dan komposisi musikalisasi puisi ”diabdikan” untuk mengekspresikan unsur-unsur intrinsik puisi (tanpa mengabaikan unsur ekstrinsik puisi).


  • Ada komposisi musikalisasi puisi dengan format ”sajian musik tampil bersama dengan pembacaan puisi” sehingga dalam penampilan itu seolah-olah sajian musik dan pembacaan puisi ”berebut peran sebagai tokoh utama”.
Format ini dapat diibaratkan sebagai ”dua pihak yang bekerja sendiri-sendiri di sebuah tempat yang sama dan masing-masing ingin menampilkan kelebihan diri sendiri”
Selama sajian musik ”masih berusaha seiring-sejalan” dengan pembacaan puisi dan puisi tersebut dapat dinikmati melalui ekspresi musik, ”Tanah” tidak mengharamkan format itu sebagai salah satu bentuk ekspresi kreativitas seni.

  • Ada komposisi musikalisasi puisi dengan format ”pembacaan puisi tampil bersama dengan sajian musik” sehingga dalam penampilan itu seolah-olah pembacaan puisi dan sajian musik ”berebut peran sebagai tokoh utama”.
Format ini juga dapat diibaratkan sebagai ”dua pihak yang bekerja sendiri-sendiri di sebuah tempat yang sama dan masing-masing ingin menampilkan kelebihan diri sendiri”
Selama pembacaan puisi ”masih berusaha seiring-sejalan” dengan sajian musik dan puisi tersebut dapat dinikmati melalui ekpresi musik, ”Tanah” tidak ”mengharamkan” format itu sebagai salah satu bentuk ekspresi kreativitas seni.



  • Ada komposisi musikalisasi puisi dengan format ”sajian musik membantu penampilan pembacaan puisi” sehingga seolah-olah pembacaan puisi merupakan ”tokoh utama” yang terasa dominan sedangkan sajian musik merupakan ”tokoh pembantu” yang terasa tidak dominan.
Format ini dapat diibaratkan dengan ”dua pihak yang bekerja di tempat yang sama, tetapi salah satu pihak bertindak sebagai pemimpin dan pihak lain bertindak sebagai anak buah yang mematuhi kehendak pemimpin”
Selama pembacaan puisi ”berusaha menyesuaikan diri” dengan sajian musik dan puisi tersebut dapat dinikmati melalui ekspresi musik, ”Tanah” tidak mengharamkan format itu sebagai salah satu bentuk ekspresi kreativitas seni.

  • Ada komposisi musikalisasi puisi dengan format ”pembacaan puisi membantu penampilan sajian musik” sehingga seolah-olah pembacaan puisi merupakan ”tokoh utama” yang terasa dominan sedangkan sajian musik merupakan ”tokoh pembantu” yang terasa tidak dominan.
Format ini juga dapat diibaratkan dengan ”dua pihak yang bekerja di tempat yang sama, tetapi salah satu pihak bertindak sebagai pemimpin dan pihak lain bertindak sebagai anak buah yang mematuhi kehendak pemimpin”
Selama sajian musik ”berusaha menyesuaikan diri” dengan pembacaan puisi dan puisi tersebut dapat dinikmati melalui ekpresi musik, ”Tanah” tidak ”mengharamkan” format itu sebagai salah satu bentuk ekspresi kreativitas seni.

  • Ada komposisi musikalisasi puisi dengan format ”sajian musik tampil sebagai satu kesatuan dengan pembacaan puisi” sehingga seolah-olah sajian musik dan pembacaan puisi sama-sama merupakan ”tokoh utama” (meskipun komposisi ini masih terasa cenderung menjadikan kreativitas seni yang diciptakan itu masuk ke dalam ”ruang puisi”).
Format ini dapat diibaratkan sebagai ”dua pihak yang bekerja sama dengan tujuan yang sama”
Selama pembacaan puisi dan sajian musik sama-sama ”berusaha menjadi bagian yang tak terpisahkan dan harmonis” dan puisi tersebut dapat dinikmati melalui ekspresi musik, ”Tanah” tidak mengharamkan format itu sebagai salah satu bentuk ekspresi kreativitas seni.

  • Ada komposisi musikalisasi puisi dengan format ”pembacaan puisi tampil sebagai satu kesatuan dengan sajian musik” sehingga seolah-olah pembacaan puisi dan sajian musik sama-sama merupakan ”tokoh utama” (meskipun komposisi ini masih terasa cenderung menjadikan kreativitas seni yang diciptakan itu masuk ke dalam ”ruang musik”).
Format ini juga dapat diibaratkan sebagai ”dua pihak yang bekerja sama dengan tujuan yang sama”
Selama sajian musik dan pembacaan puisi sama-sama ”berusaha menjadi bagian yang tak terpisahkan dan harmonis” dan puisi tersebut dapat dinikmati melalui ekpresi musik, ”Tanah” tidak ”mengharamkan” format itu sebagai salah satu bentuk ekspresi kreativitas seni.

  • Ada komposisi musikalisasi puisi dengan format ”puisi dilagukan dengan iringan musik tanpa ada pembacaan puisi” sehingga seolah-olah puisi ”ditelan” oleh sajian musik yang berperan total secara egois sebagai ”tokoh utama” dengan menghilangkan penampilan pembacaan puisi (karena memang meskipun di dalam puisi ada unsur musik, ada puisi yang ”tidak terlalu menuntut untuk diekspresikan unsur musiknya”).
Selama sajian musik mengekspresikan isi puisi, ”Tanah” tidak ”mengharamkan” format itu sebagai salah satu bentuk ekspresi kreativitas seni.




  • Ada penampilan musikalisasi puisi dengan format ”pembacaan puisi + musik + unsur teatrikal/dramatikal”
Selama sajian musik dan pembacaan puisi serta unsur teatrikal/dramatikal sama-sama ”berusaha menjadi bagian yang tak terpisahkan dan harmonis” dan puisi tersebut dapat dinikmati melalui ekpresi musik dengan unsur teatrikal sebagai penguat atmosfer pementasan, ”Tanah” tidak ”mengharamkan” format itu sebagai salah satu bentuk ekspresi kreativitas seni.

  • Apakah ”Tanah” menganut format ”baru” yang merupakan gabungan dari beberapa format penampilan musikalisasi puisi yang pernah ada?
”Tanah” tidak menganut (dan dengan rendah hati: tidak menciptakan) format baru dalam penampilan musikalisasi puisi.
”Tanah” menempatkan diri sebagai makhluk yang bebas menggunakan hak untuk tampil menggunakan format apa pun; yang penting: ”Tanah” berusaha ”mengawinkan” puisi dengan musik.

  • ”Tanah” berusaha ”mengawinkan” puisi dengan musik dan dalam perkawinan itu, ”Tanah” menempatkan musik sebagai ”suami” dan puisi sebagai ”istri”. Tanah” berusaha ”mengawinkan” puisi dengan musik dan ”Tanah” berusaha memfasilitasi musik dan puisi sebagai suami-istri yang membentuk ”keluarga” yang harmonis



Æ Pembacaan puisi penting ada dalam komposisi musikalisasi puisi
”Tanah” membuka diri untuk mengintegrasikan pembacaan puisi dengan nada dan melodi dalam komposisi musikalisasi puisi dengan pertimbangan sebagai berikut.

  • Bagi ”Tanah”, puisi bukan hanya luas dan mendalam, melainkan juga luwes dan universal sehingga bukan sesuatu yang ”haram” jika pembacaan puisi dijadikan bagian integral dari sebuah sajian musik, bahkan ”Tanah” memandang pembacaan puisi sebagai sesuatu yang ”wajib” dalam komposisi musikalisasi puisi sebab adanya pembacaan puisi itu akan menjadi ”ciri pembeda” komposisisi musik yang merupakan komposisi musikalisasi puisi dengan komposisi musik yang bukan komposisi musikalisasi puisi.


Æ Menyulap seluruh puisi menjadi lagu dalam komposisi musikalisasi puisi merupakan kreasi seni yang kurang apresiatif terhadap puisi
”Tanah” berusaha menghindarikan diri dari upaya memaksakan totalitas puisi menjadi lagu (sehingga dalam komposisi yang dicipta tidak terdapat unsur pembacaan puisi) sebab ”Tanah” khawatir, mentransformasi seluruh puisi menjadi lagu dapat merusak, bahkan menghancurkan puisi itu sendiri.
Bagi ”Tanah”, pembacaan puisi yang diintegrasikan dengan nada dan melodi dapat memperkuat suasana puisi, memperjelas makna dan ikut membantu membentuk karakter puisi itu sendiri.


  • Bagi ”Tanah”, ada puisi yang pada bagian tertentu hanya ”akan kuat” jika dibacakan (sebab pada hakikatnya, puisi merupakan karya seni --yaitu seni sastra-- ”untuk dibacakan” bukan ”untuk dilagukan/dinyanyikan”), sebaliknya justru ”akan hancur” jika dilagukan, misalnya bagian yang bertalian dengan tempo (kecepatan) dan negasi (jeda atau saat diam) sebab tempo dan negasi dalam pembacaan puisi dipengaruhi suasana asli puisi (sekaligus berfungsi untuk memunculkan suasana asli puisi) dan ditentukan oleh situasi apresiasi (sekaligus menentukan situasi apresiasi).

  • Tempo dan negasi adalah dua ciri khas pembacaan puisi yang sulit untuk dilagukan. Pengaturan tempo dalam pembacaan puisi berfungsi untuk mendapat efek puitis tertentu, sedangkan negasi dalam pembacaan puisi berfungsi untuk menciptakan suasana kontemplatif, sugestif, dan aperseptif dalam pembacaan puisi. Dalam pembacaan puisi, negasi juga bisa membantu seorang pembaca untuk melakukan improvisasi, jika mengalami “habis napas”. Dalam satu bait puisi mungkin terdapat beberapa tempo yang berbeda, dan beberapa kali perubahan negasi. Jika bagian puisi yang mengandung tempo dan negasi yang ketat dipaksa untuk dilagukan, maka dapat terjadi disharmoni irama lagu. Oleh karena itu, bagi ”Tanah”, dalam komposisi musikalisasi puisi, jika dalam bait puisi dan bagian-bagiannya atau beberapa larik dalam bait terdapat tempo dan negasi pembacaan puisi yang ketat, bagian-bagian puisi seperti itu diupayakan untuk tetap dibacakan, tidak dilagukan. Meskipun demikian, pada saat pembacaan puisi dilakukan, ”Tanah” tetap memunculkan bunyi alat musik agar pembacaan puisi yang sedang dilakukan tidak terkesan ”terpisah” dari komposisi musikalisasi puisi yang sedang ditampilkan.

  • Tempo dan negasi dalam pembacaan puisi sulit untuk dilagukan. Dalam lagu memang ada pengaturan kecepatan, tetapi pengaturan kecepatan (yang kebetulan juga disebut dengan tempo) pada lagu dikandung oleh satu konstruksi bait secara umum (bukan dikandung oleh suasana asli puisi bagi bagian tertentu yang khusus), yang ditentukan kecepatan gerak pulsa dalam tiap-tiap notasi. Tempo dalam lagu telah ditentukan pada sebelumnya dan diterapkan untuk keseluruhan lagu, seperti adanya istilah-istilah forte, piano forte, allegro, adagio dan sebagainya, sedangkan tempo pada pembacaan puisi tidak berlaku untuk keseluruhan puisi. Memaksakan tempo lagu yang telah ditetapkan sebelumnya terhadap puisi (baca: menghilangkan unsur pembacaan puisi pada komposisi musikalisasi puisi) mengakibatkan efek puitis (yang berasal dari suasana asli puisi) menjadi tenggelam oleh efek musik padahal sebuah komposisi musikalisasi puisi harus tetap memunculkan efek puitis sebab ”ruh” komposisi musikalisasi puisi adalah puisi. Dalam musik, jeda atau saat diam juga ada. Istilah yang mungkin mendekati negasi adalah kadens (jeda atau saat diam antara satu frase dengan frase berikutnya, bait satu ke bait berikutnya, atau saat menuju reffrain dan fading), tetapi sama halnya dengan tempo dalam lagu, kadens dalam lagu pun telah ditentukan sebelumnya oleh pencipta lagu dan pada umumnya bersifat permanen sedangkan negasi dalam pembaaan puisi tergantung pada situasi apresiasi (yang sedang berlangsung atau yang diinginkan berlangsung). Oleh karena itu, jika dalam bait puisi dan bagian-bagiannya atau beberapa larik dalam bait terdapat tempo dan negasi pembacaan puisi yang ketat, ”Tanah” mengupayakan bagian-bagian puisi seperti itu diupayakan untuk tetap dibacakan (tidak dilagukan) dalam komposisi musikalisasi puisi dengan tetap memunculkan bunyi alat musik pada saat pembacaan puisi dilakukan agar pembacaan puisi yang sedang dilakukan tidak terkesan ”terpisah” dari komposisi musikalisasi puisi yang sedang ditampilkan.

  • Dalam puisi, terdapat enjambemen (pemenggalan baris dan hubungan antara baris). Pemenggalan baris-baris puisi yang dilakukan oleh penyairnya dalam penulisan teks puisi menentukan makna puisi. Maka, memaksakan pemenggalan tertentu agar sesuai dengan aransemen lagu demi harmonisasi irama lagu (baca: memperlakukan teks puisi sebagai teks lagu), bagi ”Tanah” merupakan upaya yang tidak apresiatif; tidak menghormati puisi sebab pada hakikatnya puisi dibuat sebagai teks sastra (untuk dibaca atau dibacakan); bukan sebagai teks lagu (untuk dinyanyikan).



Æ Musikalisasi puisi adalah ”memusikkan” puisi
Bagi ”Tanah” musikalisasi puisi bertolak dari puisi, meskipun kemudian yang ”dijadikan bintang di atas panggung” adalah musik yang dijiwai oleh puisi itu. Bahwa yang ”dijadikan bintang di atas panggung” adalah musik (bukan puisi) merupakan hal yang sepatutnya sebab namanya saja musikalisasi puisi (”memusikkan puisi”), bukan puitisasi musik (”mempuisikan musik”).

  • Bagi ”Tanah”, musikalisasi puisi adalah penampilan musik yang dijiwai oleh isi puisi (mentransfer bahasa tulis dalam teks puisi menjadi bahasa musik); bukan pembacaan puisi yang dijiwai oleh sajian musik.

  • ”Tanah” menghormati puisi yang telah memiliki unsur musik di dalamnya sehingga ”Tanah” berusaha mentransformasikan unsur musik (yang sebenarnya memang sudah ada) dalam puisi ke dalam aransemen lagu; bukan memaksakan aransemen lagu tertentu untuk puisi yang dipilih. ”Tanah” berusaha agar aransemen musik atau alat musik/sumber bunyi musik yang digunakan dapat berintegrasi dengan puisi, selaras dengan unsur musik yang ada pada puisi dan semakin memperjelas suasana puisi.

  • Musik dalam komposisi musikalisasi puisi akan memberi penguatan suasana, penguatan kehendak si pembaca dalam menyampaikan rasa dan makna puisi. Oleh karena itu, bagi ”Tanah”, bersuaha menyesuaikan pemilihan musik dengan tafsir puisi. Selain itu, ”Tanah” berusaha agar musik dan puisi harus berjalan seirama, dengan tetap mendukung kuatnya ”ruh” puisi.

  • ”Tanah” berusaha ”menghormati” puisi sebagai karya yang lahir dari kedalaman rasa, perenungan yang jernih dan intens, serta endapan emosi yang lindap. ”Tanah” berusaha memunculkan kandungan-kandungan seperti itu dalam musikalisasi puisi.

  • Bagi ”Tanah”, musikalisasi puisi harus tetap dan selalu ”menghormati” puisi. ”Tanah” menghormati ”aturan-aturan” dan ”kaidah-kaidah” dalam puisi dan tidak akan ”memperkosanya” serta tidak akan ”memperbudaknya” demi terciptanya sebuah lagu.”

  • ”Tanah” berusaha menghormati pencipta puisi yang puisinya akan ditampilkan dalam komposisi musikalisasi puisi. Wujud penghormatan itu antara lain berupa meminta izin kepada pencipta puisi yang puisinya akan ditampilkan dalam komposisi musikalisasi puisi ”Tanah”. Untuk meminimalisasi ”tetek bengek” perizinan, sampai saat ini, ”Tanah” memilih menggarap puisi-puisi karya personal ”Tanah” sendiri. Wujud lain penghormatan itu antara lain ”Tanah” berkonsultasi dengan pencipta puisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik (jika memang ”Tanah” mengalami kesulitan atau minimal keraguan menyibak tema, makna, amanat, dan lain-lain) tentang isi puisi, dan melakukan semacam ”kompromi” dengan pencipta puisi terhadap lirik puisi pada bagian tertentu (misalnya: untuk keperluan ”memohon izin” menambahkan atau menghilangkan suku kata, kata, atau kata-kata tertentu). Selain itu, ”Tanah” mempresentasikan draft komposisi musikalisasi puisi di hadapan pencipta puisi. Jika pencipta puisi ternyata tidak melancarkan protes apa pun, ”Tanah” menganggap sikap itu sebagai wujud ”mengaminkan” draft komposisi musikalisasi puisi tersebut. Jika pencipta puisi itu melancarkan protes tertentu, ”Tanah” akan mengambil jalan ”cenderung mengaminkan” pencipta puisi sebab bagi ”Tanah” pencipta puisi itulah yang ”paling benar” tentang puisi ciptaannya. Sekali lagi, dalam rangka mempermulus ”musyawarah untuk mufakat”, ”Tanah” lebih memilih menggarap puisi ciptaan personal ”Tanah” sendiri.

Tidak ada komentar: